|
Photo was taken from here, and of course the copyright owned by BBC. |
Meski telat empat tahun, akhirnya saya berhasil juga mengakses film seri gubahan BBC yang super tenar dan mampu melambungkan nama aktor berbakat asal Inggris, Benedict Cumberbatch. Film seri yang digubah kembali berdasarkan karya Sir Arthur Conan Doyle tersebut fiksi. Ceritanya pun dibuat fantastis, bahkan sangat fantastis, dan rasanya saya belum pernah bertemu sosok sesempurna Sherlock Holmes.
Tapi hari ini kita
nggak akan bicara tentang Sherlock Holmes, maupun Benedict Cumberbatch. Mungkin
nyentil sedikit, tapi bukan itu yang sudah berhari-hari menggelitik hati dan isi kepala saya. Mari kita bicara soal impian dan obsesi. Bukan, bukan dilihat dari segi psikologi yang dipelajari adik saya di kampus, bukan juga secara ilmiah dan berdasarkan ujaran narasumber.
Ayolah, sekali-sekali saya boleh menulis tanpa perlu menghubungi narasumber, kan? Bosan tau, harus menulis berdasarkan fakta. Ini kan blog saya, boleh dong asal njeplak? Lagian, kalau situ ngutipsaya untuk bahan kuliah, situ perlu ulang mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik.
Jadi begini. Mr. Cumberbatch adalah aktor pertama yang mampu membuat saya kembali berpikir soal impian dan obsesi saya dalam hidup. Kebetulan, no pun intended, Mr. Cumberbatch pun sudah memerankan semua yang pernah menjadi obsesi saya dalam hidup ini. Sebagai contoh, saya pernah ingin jadi pramugari. Ingin banget. Banget, banget, banget. Dan dia memerankan Capt. Martin dalam drama radio Cabin Pressure. Saat SD, saya juga pernah ingin jadi detektif (yang kemudian berevolusi, saya ingin jadi polisi, kemudian jadi anggota tim Gegana). Saya tidak perlu lagi menyebutkan perannya sebagai Sherlock Holmes, kan? Dia juga berperan, dengan luar biasa, sebagai Dr. Frankenstein dan ciptaannya dalam pertunjukkan terater. Oh, saya pernah sangat mengagumi dunia teater.
Pokoknya, semakin saya searching, semakin banyak melihat berita tentang dia di situs-situs asal Inggris, saya semakin ingat masa lalu saya. Dia membuat saya ingat lagi mimpi-mimpi saya. Soalnya begini, sekarang tanpa sadar, saya sudah hidup dalam mimpi saya yang paling bersahaja. (Maksudnya, paling mungkin, gak muluk-muluk, dan kebetulan bakat saya ada di sana, kata orang hlo ya.) Saya pernah juga ingin jadi jurnalis. Jurnalis perang, orang yang berada di garis depan konflik antar-saudara, antar-bangsa, atau antar-negara adidaya. Sekarang, saya sudah jadi reporter.
Belum berani bilang, "Saya jurnalis." Wong kalau nganalisis kasus masih tumpul, nyali belum kekumpul semua, dan yang paling parah, masih lebih suka bikin artikel feature desain interior ketimbang artikel berita "beneran".
Sejujurnya, ini proses
semrawut yang ada di otak saya. Menurut saya, semua ini berhubungan. Sejauh ini, saya sudah melupakan impian, obsesi, dan cita-cita saya. Kalau kata Float, "Bagai mimpi, terwujud tak disadari. Kata hati, tak didengarkan lagi." Begitulah saya, menyedihkan. Mimpi saya sedikit demi sedikit mulai terwujud, tapi sedikit demi sedikit hanya jadi rutinitas. Kemudian muncul lagi mimpi-mimpi baru yang terkadang kontradiktif dan kontraproduktif dari mimpi sebelumnya. Misalnya, dulu saya ingin keliling dunia sendirian, datang ke tempat-tempat susah hanya untuk berpetualang. Sekarang, saya mau keliling dunia sambil bermewah-mewah. Dulu saya ingin hidup sendiri,
Me vs. The World begitulah, sekarang saya ingin punya keluarga dan hidup tenang, nyaman, dan makmur.
By the way, I need to cut this writing here. My boss just called and I got to do some bloody interviews. Like I said before, I often found my ambitions and dreams buried so damn deep. Reality, paycheck, and boss' demand before everything.
Ta ta.
XOXO, Tabita