Friday, 18 September 2015

We are Not Invincible

Have you seen a short-haired girl woman passing by with a big backpack on her back, an iPhone on her hand and an ID card hanging on her neck? If so, did you see how confident she was?  Did you see how she manage to smile and keeping a conversation going among big bosses and stakeholders?

Have you seen her? Do you think you have seen her somewhere or met her sometime? Do you know her or think you know her? I bet you don't as you have only seen a facade.

She may or may not be me, a 20-something reporter. A writer. A dreamer. A companion. A secret.

She's just a woman, a strong yet fragile woman.

A well-educated person who sometimes hate herself for being stupid, reckless and plain naive. She may or may not be me, a reminder that I--or perhaps we--am not invincible. We are prone to naiveness, temptation and mistakes.

Mistakes.

Mistakes are made to be an education for us. Or you and I, separately.

Next time you see the girl woman, remember that you don't know her. Remember that she was more than pages from her social media. She was more than a smile, less than a sin. She may or may not be me, a reminder that I--or perhaps we--am not invincible.


Wednesday, 19 February 2014

Ambisi Terpendam (Hampir) Mati

Photo was taken from here, and of course the copyright owned by BBC.

Meski telat empat tahun, akhirnya saya berhasil juga mengakses film seri gubahan BBC yang super tenar dan mampu melambungkan nama aktor berbakat asal Inggris, Benedict Cumberbatch. Film seri yang digubah kembali berdasarkan karya Sir Arthur Conan Doyle tersebut fiksi. Ceritanya pun dibuat fantastis, bahkan sangat fantastis, dan rasanya saya belum pernah bertemu sosok sesempurna Sherlock Holmes.

Tapi hari ini kita nggak akan bicara tentang Sherlock Holmes, maupun Benedict Cumberbatch. Mungkin nyentil sedikit, tapi bukan itu yang sudah berhari-hari menggelitik hati dan isi kepala saya. Mari kita bicara soal impian dan obsesi. Bukan, bukan dilihat dari segi psikologi yang dipelajari adik saya di kampus, bukan juga secara ilmiah dan berdasarkan ujaran narasumber.

Ayolah, sekali-sekali saya boleh menulis tanpa perlu menghubungi narasumber, kan? Bosan tau, harus menulis berdasarkan fakta. Ini kan blog saya, boleh dong asal njeplak? Lagian, kalau situ ngutipsaya untuk bahan kuliah, situ perlu ulang mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik.

Jadi begini. Mr. Cumberbatch adalah aktor pertama yang mampu membuat saya kembali berpikir soal impian dan obsesi saya dalam hidup. Kebetulan, no pun intended, Mr. Cumberbatch pun sudah memerankan semua yang pernah menjadi obsesi saya dalam hidup ini. Sebagai contoh, saya pernah ingin jadi pramugari. Ingin banget. Banget, banget, banget. Dan dia memerankan Capt. Martin dalam drama radio Cabin Pressure. Saat SD, saya juga pernah ingin jadi detektif (yang kemudian berevolusi, saya ingin jadi polisi, kemudian jadi anggota tim Gegana). Saya tidak perlu lagi menyebutkan perannya sebagai Sherlock Holmes, kan? Dia juga berperan, dengan luar biasa, sebagai Dr. Frankenstein dan ciptaannya dalam pertunjukkan terater. Oh, saya pernah sangat mengagumi dunia teater.

Pokoknya, semakin saya searching, semakin banyak melihat berita tentang dia di situs-situs asal Inggris, saya semakin ingat masa lalu saya. Dia membuat saya ingat lagi mimpi-mimpi saya. Soalnya begini, sekarang tanpa sadar, saya sudah hidup dalam mimpi saya yang paling bersahaja. (Maksudnya, paling mungkin, gak muluk-muluk, dan kebetulan bakat saya ada di sana, kata orang hlo ya.) Saya pernah juga ingin jadi jurnalis. Jurnalis perang, orang yang berada di garis depan konflik antar-saudara, antar-bangsa, atau antar-negara adidaya. Sekarang, saya sudah jadi reporter.

Belum berani bilang, "Saya jurnalis." Wong kalau nganalisis kasus masih tumpul, nyali belum kekumpul semua, dan yang paling parah, masih lebih suka bikin artikel feature desain interior ketimbang artikel berita "beneran".

Sejujurnya, ini proses semrawut yang ada di otak saya. Menurut saya, semua ini berhubungan. Sejauh ini, saya sudah melupakan impian, obsesi, dan cita-cita saya. Kalau kata Float, "Bagai mimpi, terwujud tak disadari. Kata hati, tak didengarkan lagi." Begitulah saya, menyedihkan. Mimpi saya sedikit demi sedikit mulai terwujud, tapi sedikit demi sedikit hanya jadi rutinitas. Kemudian muncul lagi mimpi-mimpi baru yang terkadang kontradiktif dan kontraproduktif dari mimpi sebelumnya. Misalnya, dulu saya ingin keliling dunia sendirian, datang ke tempat-tempat susah hanya untuk berpetualang. Sekarang, saya mau keliling dunia sambil bermewah-mewah.  Dulu saya ingin hidup sendiri, Me vs. The World begitulah, sekarang saya ingin punya keluarga dan hidup tenang, nyaman, dan makmur.

By the way, I need to cut this writing here. My boss just called and I got to do some bloody interviews. Like I said before, I often found my ambitions and dreams buried so damn deep. Reality, paycheck, and boss' demand before everything. 
Ta ta.

XOXO, Tabita

Wednesday, 16 October 2013

Catatan Pagi #1

Ini catatan pagi yang pertama. Selalu ada yang istimewa pada hal-hal pertama, kan? Cinta pertama, bolos pertama, gelas pertama, atau kalau katanya Sheryl Crow, the first cut is the deepest. Lantas, mari bicara hal yang istimewa. Hal yang paling disuka oleh penulis catatan pagi, yang sebenarnya tidak terlalu pagi, ini.

Aku suka martabak manis keju, aku suka bermalas-malasan seharian, aku suka rawon buatan mama dan cici di sebelah kantor, tapi aku juga suka sesuatu yang singkat. Hal yang terakhir ini mbikin aku kontradiktif.

Iya, singkat. Mulai dari catatan kaki, sub-judul, abstraksi, ringkasan, cerpen, dan pesan pada post-it. Mungkin ini alasannya, aku suka kehidupan. Singkat, dan meski sulit, bisa diatur oleh empunya hidup. Hal-hal yang singkat itu mudah diatur, maka itu aku bisa punya kuasa mengatur, jadi aku juga suka mengatur. Tapi, segala yang singkat juga berakhir singkat. Bisa-bisa, berakhir sebelum aku rampung mengaturnya. Maka itu, aku juga benci hal yang singkat-singkat. Misalnya, hidup yang terlalu singkat, karir yang singkat, dan hubungan singkat. Semuanya terasa memuakkan, terkesan tidak niat, setidaknya buatku.

Makanya, aku menikmati proses. Aku suka melihat behind the scene film. Baca The Art of Watching Film yang tidak habis-habis, memikirkan tulisannya Camus tanpa henti, juga pilihan menarik. Karena aku takut, di ujung yang singkat, maupun yang lama, nanti ada akhirnya. Akhir yang memang tidak selalu buruk, tapi aku juga tidak nyaman dengan perubahan. Makanya aku terkesima dengan orang yang siap menghadapi akhir dan memulai sesuatu yang baru.

Misalnya, selusin teman dan kerabat yang tempo hari menikah. Dan teman serta kerabat yang sebentar lagi menikah. Teman-teman yang baru melahirkan. Teman-teman yang bertunangan. Teman-teman yang memutuskan pindah kerja.

Aku salut dengan mereka, cenderung ke iri. Mereka punya nyali. Mungkin, tidak hanya nyali, tapi juga punya gayung bersambut. Sementara, aku masih suka yang singkat-singkat, masih suka mengatur, masih takut berubah, dan masih egois. Coba, berapa banyak "aku" dalam catatan ini? Bagaimana mau maju?

Sunday, 16 September 2012

Waving Hello

Well, hello again. After months of months planning to make a few changes to this blog, I finally made it. It just a simple new header, few icons, and a quote. I'm still maintaining the simple, clean-cut, ease, and free theme for this blog. It's a light read, afterall. You wouldn't expect me to use a perch, candles, and diamonds, right?

So, what's up? Do I still have some frequent readers? Or is there anyone who actually reads my blog? I'm not planning to figure it out, though. It's a good thing if you read my blog. I appreciate it.

Things are changing. I'm now take part at a photography club that I was desperately wanted to join to. I'm no longer a student. I just graduated from the university, got a job in a national news agency, and, although I'm not really sure I'm standing on a solid soil, I hope I'm doing good in my job.

I guess, that's it for today. See you again real soon.

Thursday, 26 April 2012

CHORA

Kala itu, malam itu, senyum itu, sendiri itu
Kita menjadi diri kita sendiri
Tanpa rasa, tanpa kata

Hanya senyum menemani hening
Bersama luka itu, sendu itu, sendiri itu
Tapi ada kita kala itu

Inginku kembali dalam chora
Bersama mimpi itu, rencana itu
Kita bersama, tapi tidak bersatu


Jakarta, 26 April 2012
Kepada sahabat yang kini bermil-mil lebih dekat
tapi kini kita saling diam

Tuesday, 24 April 2012

Sepatu Putih dan Baju Merah

Hari Sabtu kemarin (21/4/2012), Jakarta dirundung mendung. Setelah pulang dari kelas perdana GFJA XVIII, dalam keadaan setengah mengantuk, gue menumpang Commuter Line dan berangkat ke kampus.  Agak sulit memang, mengumpulkan niat yang sudah sembunyi di sela-sela tiang Stasiun Juanda. Tapi, toh akhirnya gue berangkat juga.

Niat itu gue kumpulkan karena gue sudah kadung janji dengan beberapa kawan di kampus. Teman-teman gue dari Sastra Cina FIB UI lagi ngadain Sinofest kesebelas. Kebetulan, tahun ini bukan satu, bukan dua, tapi buanyak teman gue yang ikut terlibat dalam Sinofest. Sinofest adalah acara tahunannya Sastra Cina. Nama Sinofest sebelumnya tenggelam dari antara nama-nama acara FIB lain seperti, Gelar Jepang,  Petang Kreatif, atau bahkan La Semaine de la Francophonie

Namun, gue rasa tahun ini mereka berhasil membuat nama Sinofest jadi bergaung kencang macam petasan Betawi. Acara andalan mereka kali ini berpusat pada kuliner Tionghoa Nusantara. Kebayang dong bebek-bebek Peking yang digantung, babi panggang, nasi hainam, dan bacang yang bikin ngiler itu?


 




Selain banyak Chinese food, Sinofest XI kemarin juga menawarkan pagelaran musik yang menurut gue menarik. Ada band-band hasil audisi mereka, lalu ada Karolina, Hamba Allah, dan The Bobrocks. Gongnya, White Shoes and The Couples Company hadir menutup acara. WSATCC malam itu tampil manis. Entah karena Nona Sarinya memang manis, baju merah lucu yang ia kenakan, atau memang lagu-lagu mereka yang terdengar manis, entahlah...




WSATCC malam itu nggak sekedar bernyanyi. Di akhir penampilan mereka, kembang api bersahut-sahutan menyambut hantaman drum John dan suara Nona Sari.




Setelah White Shoes & The Couples Company benar-benar pamit, ternyata kembang api terus menyala di angkasa. Saat itu, puluhan anak-anak Sastra Cina mulai berteriak dalam Bahasa Mandarin. Walaupun gue nggak ngerti, gue yakin mereka lagi merayakan kesuksesan acara Sinofest XI.




p.s. doa gue buat Mas Dekun yang mengalami kecelakaan saat memasang lampion. Lekas sembuh, lekas kembali beraktivitas ya, Mas! :)

Thursday, 12 April 2012

Just Don't Stop

I remember, the first time I start blogging on Tumblr. I saw a pre-made post that says: "Doesn't matter how slow you go, as long as you keep on going." That was simple. I never knew it will be THAT hard. There will be so many things involve. There will be heart brokens, tears falling, plans ruined, changing directions... The bottom line is nobody ever told me that the future will be filled with rocky roads.

I was optimistic back then. Now, I'm afraid. I have plans, I have dreams, that I'm not sure how to reach them. But I have opportunities. Not much, but enough.

Maybe, this is the right time to tell to myself that I must not stop. I have to keep on going because there is still hope. I can't rely on myself only; but I can't hang on to other people that would not be around forever either.

Hey future me, this is you in the past. This is you feel troubled, afraid, and having doubts. You or me, is now have to face a new cirlce, a new challenge, and new opportunities. You owe us stories in the future, ok? I look forward for it.

Monday, 30 January 2012

Living at Its Best

I know this is way to late to tell-even to myself-that my passion in life is to capture-or even design and make-some unique houses, buildings, and then make my own. I don't know how but I believe that one day, I can make this a living: capturing beautiful houses and building.

For now, I'm still trying to get there; living at its best.

Sunday, 20 November 2011

I Owe Many Things To Myself

I want to be on top. I want to earn huge. I want to livin' high. Yet, I'm here and terrified.


Akhir-akhir ini gue makin sadar bahwa gue masih berhutang banyak sama diri gue. Akhir tahun semakin dekat, dan nggak banyak yang udah gue capai. Bahkan, rasanya gue makin nggak memberikan jalan untuk suara gue sendiri. Gue terlalu merasa nyaman di comfort zone gue, sampai gue merasa: this whole world is my comfort zone.

Sebenernya nggak jelek, merasa dunia ini adalah a-giant-comfort-zone-of-yours. Secara teori, seharusnya dengan menganggap dunia ini adalah zona nyaman raksasa, banyak hal yang bisa kita lakukan dengan nyaman. Tapi, tapi coba bayangin ini: di comfort zone, lo bisa tidur seenaknya, bisa mikir seenaknya, bisa membayangkan hal-hal yang enak aja, bahkan lo bisa tinggal mikir dan semuanya tersedia buat lo. Sayangnya, ini dunia nyata. Bukannya gue merendahkan filosofi a la The Secret, tapi apa gunanya mikir doang?

Gue merasa, pola pikir gue makin berantakan. Gue udah nggak berfikir secara runtut dan sistematis kayak dulu lagi. Rasanya gue mau menyalahkan sistem pendidikan di kampus gue yang membuat gue jadi kayak begini, tapi, hello? Lo-nya aja yang ngga bisa jaga diri, Tit!

Rasanya, gue musti sadar dan musti mulai berbuat sesuatu mulai sekarang. Sekarang? Iya, gue tahu rasanya agak telat. Tapi kalau nggak sekarang, mau kapan lagi?

Sunday, 30 October 2011

(Di Balik) Sumpah(nya) Pemuda


"Sumpahmu, lukaku." batin Laki-laki itu dengan tatapan nanar.
"Ah, itu bukan masalahku." ucap Laki-laki itu riang, sambil terus membatin.

Ada apa ya dengan pemuda masa ini? Kebanyakan pemuda masa ini-termasuk saya tentunya-sudah terlalu sibuk dengan earphone di telinga mereka, Blackberry yang tersangkut di jari-jemari mereka, acara kampus di benak mereka, Wikipedia jadi bekingan mereka, dan mereka meninggalkan nalar, nurani, empati, bahkan peduli di rumah.

Tanggal 28 kemarin Hari Sumpah Pemuda. Hah! Sudah banal membahas Sumpah Pemuda. Hapal saja tidak, saya nggak berani ikut-ikutan membahas Sumpah Pemuda. Terlepas dari kemungkinan bahwa Sumpah Pemuda adalah hoax besar yang dibuat untuk membuat mitos-mitos yang bisa menyatukan semua pemuda Indonesia, saya lebih tertarik membahas sumpahnya pemudi dan pemuda di masa ini.

Memangnya pemuda jaman ini masih sumpah-sumpahan? Sumpah itu kan janji, sesuatu yang musti ditepati. Nazar. Dua orang pemudi-pemuda sepakat untuk tidak lagi saling merindu, itu juga artinya saling berjanji, kan? Apalagi yang saling berjanji untuk selalu bersama, sudah jelas kalau itu.

Lalu, ada apa dengan sumpah 2.0 (baca: two point o) di era digital ini? Ini memang jaman susah. Susah cari sinyal, susah mau langganan BIS, susah kalau USB hilang. Mau makan aja susah, apalagi cari kerjaan. Wah, sudah lagu lama itu. Nah, kalau urusan hati? Ini dia yang prioritasnya jadi nomor kesekian. Asal hidup enak, enjoy, layak, ya jalanin saja. Peduli setan sama hati. Lalu, hanya sampai di situ? Katanya generasi logis, maunya jadi atheis, menolak percaya mistis, tapi kok bikin miris? Hati sendiri saja disisihkan, bagaimana nasib hatinya orang lain?

Susah menepati janji. Bahkan kita tidak lagi ingkar janji. Kita lebih sering lupa kalau kita punya janji. Ada sumpah pemuda di balik sumpahnya pemuda. Masing-masing kita bersumpah untuk mengusahakan hidup layak untuk diri kita masing-masing. Tapi ketika semua orang bersumpah, pasti ada aja yang ketikung. Namanya juga hidup. Nggak semuanya bisa menepati janji mereka.

Di balik sumpahnya pemuda, ada pepesan kosong. Saya takut saya tidak bisa beli bacem, teri, atau usus agar pepesan saya tidak kosong. Tapi, selain saya, adakah yang masih takut?