Sunday, 30 October 2011
(Di Balik) Sumpah(nya) Pemuda
"Sumpahmu, lukaku." batin Laki-laki itu dengan tatapan nanar.
"Ah, itu bukan masalahku." ucap Laki-laki itu riang, sambil terus membatin.
Ada apa ya dengan pemuda masa ini? Kebanyakan pemuda masa ini-termasuk saya tentunya-sudah terlalu sibuk dengan earphone di telinga mereka, Blackberry yang tersangkut di jari-jemari mereka, acara kampus di benak mereka, Wikipedia jadi bekingan mereka, dan mereka meninggalkan nalar, nurani, empati, bahkan peduli di rumah.
Tanggal 28 kemarin Hari Sumpah Pemuda. Hah! Sudah banal membahas Sumpah Pemuda. Hapal saja tidak, saya nggak berani ikut-ikutan membahas Sumpah Pemuda. Terlepas dari kemungkinan bahwa Sumpah Pemuda adalah hoax besar yang dibuat untuk membuat mitos-mitos yang bisa menyatukan semua pemuda Indonesia, saya lebih tertarik membahas sumpahnya pemudi dan pemuda di masa ini.
Memangnya pemuda jaman ini masih sumpah-sumpahan? Sumpah itu kan janji, sesuatu yang musti ditepati. Nazar. Dua orang pemudi-pemuda sepakat untuk tidak lagi saling merindu, itu juga artinya saling berjanji, kan? Apalagi yang saling berjanji untuk selalu bersama, sudah jelas kalau itu.
Lalu, ada apa dengan sumpah 2.0 (baca: two point o) di era digital ini? Ini memang jaman susah. Susah cari sinyal, susah mau langganan BIS, susah kalau USB hilang. Mau makan aja susah, apalagi cari kerjaan. Wah, sudah lagu lama itu. Nah, kalau urusan hati? Ini dia yang prioritasnya jadi nomor kesekian. Asal hidup enak, enjoy, layak, ya jalanin saja. Peduli setan sama hati. Lalu, hanya sampai di situ? Katanya generasi logis, maunya jadi atheis, menolak percaya mistis, tapi kok bikin miris? Hati sendiri saja disisihkan, bagaimana nasib hatinya orang lain?
Susah menepati janji. Bahkan kita tidak lagi ingkar janji. Kita lebih sering lupa kalau kita punya janji. Ada sumpah pemuda di balik sumpahnya pemuda. Masing-masing kita bersumpah untuk mengusahakan hidup layak untuk diri kita masing-masing. Tapi ketika semua orang bersumpah, pasti ada aja yang ketikung. Namanya juga hidup. Nggak semuanya bisa menepati janji mereka.
Di balik sumpahnya pemuda, ada pepesan kosong. Saya takut saya tidak bisa beli bacem, teri, atau usus agar pepesan saya tidak kosong. Tapi, selain saya, adakah yang masih takut?
Subscribe to:
Posts (Atom)