Tuesday, 16 November 2010

About That Tears

So you didn't see me cry behind my glasses. Yes, I didn't mean for you to figure it out, anyway. I just.. well yes. I'm fucking jealous for every girl you'll meet every day, their every smile, their hellos, and their lips saying your name in a long and cheerful tone. The tone that was mine who said your name while smiling and hugging you.

Fuck this. If I don't remember I have family and responsibilities and even a such thing called religion, I bet I am dead already.

I'm breaking down. Everybody knows you're not mine anymore. Fuck this. Can't I just quit?

Monday, 15 November 2010

Dulu vs. Sekarang

Dulu gue adalah perempuan kecil yang sangat pongah: gue tau kalau gue pintar, gue merasa bisa hidup tanpa kekasih, gue tidak percaya dengan institusi agama, gue tau kalau Tuhan ada di dimensi yang bisa kita raih setiap malam hari-karena pada malam hari, kayak yang pernah Simbah Kakung gue bilang, "Tuhan akan memilih orang-orang bijak setiap malam, tidak akan ada yang terlewat karena pada malam hari mereka akan bersinar seperti lampu pijar di tengah gelap gulita", dan gue percaya kalau gue-lah satu dari orang-orang bijak itu.

Sekarang? Baru saja gue kembali menahan tangis di sepanjang perjalanan pulang yang dingin dan becek.

Gue adalah perempuan kecil pongah yang sudah kehilangan kebanggaannya: malas belajar, kehilangan nilai-nilai gemilangnya, sedih hanya karena sekedar tidak ada lagi tangan besar yang menggenggamnya dan badan hangat yang memeluknya, dalam pencarian yang putus asa akan Tuhan dan cara menyembah Tuhan, karena hidup rasanya sudah terlalu kosong, rasanya Tuhan yang dulu dekat sudah lebih dari sekedar jauh. Tuhan yang dulu gue percaya akan memilih gue pada malam hari, mungkin sudah jengah dengan kepongahan gue.

~

Maaf Tuhan, dulu saya jatuh cinta dengan hebatnya saya. Lalu saya jatuh cinta pada seorang pria. Kini hebat saya dan pria itu sudah tidak lagi saya miliki. Lalu bagaimana? Saya dalam perjalanan mencari-Mu, Tuhan, dan mungkin juga dalam pencarian cara menyembah-Mu. Oh iya, saya rasa, saya juga sedang mencari maaf dari-Mu.

Kalau ini doa, mungkin seharusnya saya tutup dengan
Amin.

Monday, 8 November 2010

Lack of You

I've waited for your message this morning. Yes, I'm a fool. Yes, I'm a masochist. But there is none. No 'good morning message', no 'sorry message', no 'have a nice day message', simply no you.

Should I laughing with my friend as hard and loud as you do with yours?

Cinta di Era Industri Modern

Lalu aku diam, bukan berarti aku mengiyakan
Aku hanya menunggu, siapa tahu ada angin baru
Kau hanya tertawa

Aku bilang aku sedih, karena air mata tak berarti lagi untukmu
Harus menjelma jadi kata-kata, seperti aku harus menjelma
Sekarang aku yang tertawa

Aku bukan siluman, mau menjelma jadi apa?
Jadi aku, katamu
Kita berdua hanya bisa tertawa

Selamat tertawa, tangis ini kini hanya tersedia dalam kata-kata
Dijual terpisah dari badanku
Karena hatiku terlanjur kelu

Pertanyaan Jujur dari Lubuk Hatiku yang Pualiiiing Dalam

Kenapa badanku bukan pualam Itali?
Kenapa air mataku bukan mutiara?
Kenapa rambutku bukan benang-benang sutra?

Pantas, bagimu aku murah. Mudah tergantikan.

Dialog Dini Hari

"Kau marah?" ujarmu pelan.

"Menurutmu?" hanya ini yang bisa kujawab.

"Kau menyesal?" tanyamu lagi.

"Tidak." jawabku singkat.

"Lalu, kenapa marah?"

"Karena nyalimu hilang, dan kau anggap aku mudah."

"Lalu kita harus bagaimana?"

"Bagaimana katamu? Ya nggak gimana-gimana. Selamat bersenang-senang di atas air mataku. Selamat berpesta-pora dan tertawa terkekeh-kekeh bersama kawan-kawanmu."

"Lalu kau bagaimana?"

"Mati."

"Sekarang?"

"Ya."

"Yakin?"

"Sudah."

"Apanya?"

"Matinya."

"Kau masih hidup. Katanya ingin mati?"

"Jadi kau mau aku mati?"

"Kan kau yang bilang ingin mati tadi?"

"Sudah mati dari tadi."

"Apanya?"

"Harapan dan banggaku atas kau."

Saturday, 6 November 2010

Tragedi Ironi di Antara

Seperti aku berdiri bagai tonggak untuk pria impoten,
atau laki-laki yang berpura-pura jadi gincu untuk perempuan tepos
Sana, jadi silikon, biar hadirmu ada faedahnya!
Bukan bertahan dan jadi olok-olok bagi pasanganmu

Tapi, karena cinta katamu, kau bertahan?
Nona, naif sekali ya kau ternyata?
Sana, pergi jadi mualaf baru cintamu ada harganya!
Jangan diam di sini, untuk kecewa, lalu mati sia-sia

Pesan untuk Kita

Sudah, mari kita rapatkan mulut kita masing-masing dan ukur jarak kita lagi
Karena kau yang minta dan aku yang terpaksa mengiyakan
Sudah, lelah bukan lagi di benakku tapi kini sudah mengalir di darahku
Karena ini bukan lagi yang pertama dan maafmu jadi murah
Sudah, aku memang sampah buatmu dan entah bagaimana engkau masih yang indah bagiku
Sudah, tapi kini aku lelah
Karena marah yang kurasa kini sudah jadi akumulasi
Lantas, saya terlanjur kecewa
Jadi, selamat hidup dan bercinta dengan pilihanmu
Sekali lagi, saya terlanjur kecewa

Wednesday, 3 November 2010

Sisa yang Menggeliat

Aku bergelut dengan sekelumit sisa cintamu yang tertinggal di dadaku
Cinta yang terlanjur jadi candu untuk liarnya hati yang kini ditinggal mati
Ia menggeliat dan terus mencekik meminta leher

Cintamu, canduku, liarku, untukmu, dan masih untukmu


GBB, 3 November 2010

Bebas

Bebas tak selamanya merdeka
Leher yang bebas dari badan tak lagi mampu meminta hari
Hati yang bebas
Hati yang mati
Tak mampu lagi meminta hari


GBB, 3 November 2010

Tuesday, 2 November 2010

Ingin

Aku ingin jadi dia, yang baru saja jadi referen di benakmu. #eits

Tentang Aku

Rinduku dibelenggu ragu, ketika yang teraba hanya rasa malu: kita tidak lagi satu
Semua orang merindu ketika aku terpaksa sendiri meragu
Aku. Bosan. Menunggu.

Lalu, menjadi mainstream di tengah dunia yang terlanjur hypocrite
Aku menjadi mereka, biar lupa dengan kita
Aku. Lelah. Merasa.

Rasa sedih itu tertutup marah yang mendalu dan membatu
Lalu turun dan masuk dalam jamban
Aku. Sudah. Menyerah.

Monday, 1 November 2010

Luka Cinta Derita untuk Lupa Cipta Cerita

Lupa sama luka, kita mencipta cinta, karena derita nanti jadi sekedar cerita.

Ditunggu Nona

Di bawah lampu penerang jalan, seorang perempuan muda mengenakan kemeja dan rok lipit sedengkul memeluk erat tas hitamnya. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda sesekali berayun ketika ia menengok ke kanan dan kiri. Nampaknya ada seseorang yang ia tunggu.

Hei, Nona. Diam saja? Sedang menunggu, ya?
~
Nona, jangan hanya tersenyum. Saya bertanya, Nona sedang menunggu seseorang ya?
~
Nona tau pementasan Menunggu Godot? Kalau Ditunggu Dogot? Kalau tidak tahu, harusnya Nona tetap tau sedang menunggu siapa, kan?
~
Nona, diam begitu tampak galak. Saya lebih senang melihat Nona tersenyum seperti tadi. Biar bisu, tapi manis. Eh, memangnya Nona benar-benar bisu?
~
Ya tapi kenapa hanya menggeleng? Kalau tidak bisu kan harusnya bisa berucap.
~
Nona, malam ini dingin ya? Pasti yang Nona tunggu juga tidak sabar bertemu Nona. Dia bisa memeluk Nona dengan erat sampai tidak ada lagi hawa dingin tersisa di tubuh Nona.
~
Pasti orang itu tampan ya, Nona. Dia siapa? Pacar? Tunangan? Ah, tapi tidak mungkin suami. Nona terlalu muda untuk menikah.
~
Coba orang itu adalah saya ya, Nona. Saya hanya sejauh satu jengkal.
~
Nona, ayo bicaralah! Sepatah kata saja, atau dua, atau lebih akan lebih bagus. Kita ulang saja pembicaraan ini. Tapi kali ini jawab, ya?
~
Hei, Nona. Diam saja? Sedang menunggu, ya?
~
Ah, Nona. Saya bosan. Lagipula, saya tidak boleh keluar rumah malam-malam, apalagi keluar rumah malam-malam dan bicara dengan orang asing. Lebih baik saya pulang sekarang. Nanti orangtua saya marah. Nona di sini saja ya baik-baik.
~
Ah Nona, kenapa menangis? Saya bukan orang yang Nona tunggu, kan? Nanti juga ia datang. Sabarlah, sebelum saya datang, toh Nona baik-baik saja. Nanti pasti Nona akan baik-baik juga.
~
Nona mau ke mana? Jangan ikuti saya. Nona tinggal saja di bawah sinar lampu. Biar kelihatan. Saya mau pulang sekarang. Saya takut orangtua saya marah bila tau saya bersama Nona.
~
Nah begitu. Tinggal di sana, ya. Diam saja sampai nanti orang yang Nona tunggu menghampiri Nona dan bertanya, "Hei, Nona. Diam saja? Sedang menunggu, ya?"

Sekejap semua diam, hening, dengung bumi terdengar semakin kencang dan perempuan itu tetap menunggu untuk terus mendengar kalimat yang sama tanpa kepastian siapa yang ia tunggu. Jadi siapa yang seharusnya ditunggu?