Tuesday 19 May 2009

Choices and Decision

Hari ini gue belajar banyak tentang dua hal itu. Choices dan decision. Kita semua manusia bebas yang punya pilihan. Pilihan apapun. Dari pilihan itu, kita punya kekuatan untuk memilih. Hari ini gue nggak cuman belajar tentang pilihan dan keputusan gue. Gue juga belajar bahwa ada yang namanya pilihan dan keputusan orang lain.

Ada waktunya kita bisa melontarkan protes dan sanggahan tajam tentang keputusan orang lain. Tapi, ada juga waktunya buat kita untuk diam, menerima dengan lapang dada, dan kembali tersenyum di antara keaseman dunia.

Itu yang gue lakukan hari ini. Entah bagaimana, gue ngerasa seseorang sudah menjatuhkan pilihannya dan pilihannya itu tidak berpihak pada kepentingan gue. Gue nggak tau kebenaran hal ini, secara, gue juga nggak punya hak buat nanya kebenarannya. Tapi, it just feels like that.

Dingin. Itu yang gue rasa.

Gue juga buat banyak keputusan hari ini. Keputusan untuk ikut saran mama, menunggu om gue berangkat kantor dan ketinggalan kereta tadi pagi. Keputusan untuk nggak bolos kuliah. Keputusan gue untuk naro barang-barang yang hajubilah beratnya ke loker di kampus. Keputusan untuk kabur dari kelas Pekasus buat ngambil buku Mengenal Sastra. Keputusan untuk beli pulsa M3 seharga 25 ribu. Keputusan buat ngutang sama Dessy buat beli nasi goreng kambing. Dan keputusan untuk duduk di depan komputer, berhenti menangis, berhenti menunggu handphone gue berdering, nulis status yang bikin Ai likes that, makan malam--padahal biasanya nggak, dan terakhir... gue ngedrop IRS.

Apa yang terjadi sama kehidupan gue?

Gue hanya mau hidup tenang dan tidak menyusahkan orang lain. Itu sebenernya. Itu alasan di balik keputusan-keputusan gue selama ini yang jarang ngomongin orang, males ngerjain orang, males ngatain orang, bahkan ampir gapernah komentar macem-macem tentang kesalahan orang.

Tapi, gue sekarang ada di keadaan di mana gue nggak mengambil keputusan untuk masuk di dalamnya. It's just happened like that. Lucunya, gue sama sekali nggak menyesal. Mungkin, di situ gue ngambil keputusan. Gue ambil keputusan untuk nerima keadaan ini, belajar sesuatu darinya, dan dari jauh menerima dia di bagian kecil di nurani gue.

Dengan pasif. Tanpa menuntut apa-apa.

"Gue udah biasa, kok, disakitin." kata-kata ini, gue inget banget, adalah kata-kata yang selalu gue ucapin pas gue patah hati. Bego sih gue, kenapa gue ngerasa terbiasa disakitin? Kenapa gak dari dulu gue nolak untuk disakitin? Nolak kan nggak berarti kita gabakal disakitin. Setidaknya, walaupun ada yang berusaha nyakitin gue, harusnya gue ngambil keputusan buat nggak mau disakitin.

Gue bukan Superwoman, tapi, kayak drama Pekasus tadi (yang ternyata pernah gue tonton, disutradarai sama Pak Efriadi--aaa.. saya kangen Bapak!) gue bisa ngambil keputusan buat berdiri dan ngambil keputusan.

1 comment:

timo said...

dengan lo yang "udah terbiasa untuk disakiti" pun sudah merupakan sebuah keputusan untuk terbiasa disakiti...
nah, masih ada kesempatan kok untuk mengubah, memodifikasi, dan mengolah keputusan2 yang telah dan akan kita ambil...
semangat, tit!